Apa yang sedang kamu pikirkan? Jiwamu merasa tidak aman? Ragamu berdarah-darah? Hatimu biru lebam? Lantas, apa yang kamu harapkan? Ingin diselamatkan? Tidak? Ingin ditemani saja, atau? Oh, tidak juga? Ingin sendiri seperti biasanya? Baiklah. Tapi aku tidak tega melihat mata lelah itu. Aku tidak tega melihat senyum yang terlalu sering kamu paksakan. Jangan tersenyum padaku, kamu bisa menggunakan senyum bengis itu untuk membuat orang kelimpungan tapi tidak untukku. Aku tahu kamu. Aku tahu busuk hatimu, pun wajahmu tidak menunjukkan demikian. Tidak ada yang akan menerima segala sisi dari sisa yang kamu miliki selain aku. Tidak ada yang bisa kamu harapkan. Pada akhirnya, mereka akan pergi melenggang melangkah tanpa dosa, tanpa hati. Pun mereka belum tahu sebenarnya kamu, kamu tetap ditinggalkan, bagaimana jika mereka tahu kamu yang sebenar-benarnya? Sudah, rengkuh aku. Selamanya kamu hanya punya aku. Pun kamu berkali-kali menyakiti aku, bahkan ingin membunuhku, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Hanya aku yang bisa menyelamatkan aku.
Blelele
Di sini, sampah-sampah kepala dimuntahkan.
Minggu, 02 April 2017
Senin, 27 Februari 2017
Lagi
Ketakuan akan penyesalan di kemudian hari, tidak pernah
absen mengingatkanku, bahwa melepaskan bukanlah penenang. Meninggalkan tak
serta-merta membuat penyesalan menguap begitu saja setelahnya. Ketakutan
memiliki kekuatan tersendiri yang selalu bisa membuatku untuk tidak memutuskan
apapun sendiri. Rasanya baru kemarin aku menaburkan bahagia pada hati yang
habis-habisan dipatahkan. Kini aku harus dihadapkan untuk memperbaiki pecahan
hati yang kembali patah. Tidak, aku tidak akan mencari bahagia baru. Tidak
sampai bahagia itu yang datang sendiri menghampiri. Seperti bahagia yang baru
saja kemarin ku dapatkan, darimu. Mungkin aku yang tidak berhati-hati, hingga pada
akhirnya, aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa mencintai kamu sebesar ini,
tidak cukup mempertahankan kita. Dan tidak selamanya cinta bisa melawan jarak.
Cinta masih akan terus mengental, tapi luka darimu pun masih akan terus
mengekal. Cinta masih sama aku tidak akan menyangkal. Aku harus belajar
menerima dan belajar percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Cinta masih
sama, dan percayaku hampir saja utuh padamu. Salahku yang belum bisa membendung
amarah, salahku yang tidak bisa berpikir sebelum berujar, salahku yang tidak
bisa memanjangkan sabar, salahku yang tidak bisa berkompromi dengan jarak.
Salahku, semua salahku! Aku kelimpungan, harus bagaimana? Mengapa orang yang
paling mencintai, selalu menjadi orang yang paling menyedihkan? Apa benar, kamu
datang bukan untuk menemukan, melainkan untuk meremukkan? Aku tidak pernah tahu
isi kepalamu, adakah aku di dalamnya? Aku pikir, sayangmu bisa mengalahkan ego
yang ada di kepalamu, seperti aku yang bisa membuang segala
kemungkinan-kemungkinan lain untuk memintamu kembali. Harga diri, tidak berarti
lagi saat ini. Yang penting, bagaimana caranya kita bisa memperbaiki ini
semuanya, bagaimana kita bisa meneruskan kembali yang sempat terhenti.
Bagaimana kita kembali berjuang seperti dulu, saat kita tidak memiliki apapun
untuk dijadikan pegangan. Sudah sampai di sini, terlalu disayangkan, terlalu
cepat untuk disudahi, terlalu cepat untuk aku bisa mencerna perpisahan ini. Aku
belum siap jika harus benar-benar kehilangan lagi. Andai aku bisa sepertimu,
yang bisa sangat mudahnya melepas, merelakan.
Sabtu, 25 Februari 2017
Sepakat
Semesta punya rahasianya sendiri dalam
mempertemukan kita. Untuk
menjadi satu, kekerasan hati harus dilebur agar bisa membaur. Kita
terbentur
oleh ego dan kemauan yang masih belum bisa melewati batas suatu jalur.
Kita semakin berjalan mundur. Jarak membuat rasamu mengendur, dan
cintamu sudah terlihat mengabur. Bahagia yang dulu diumbar kini telah
luntur. Aku tidak akan mengorbankan hati untuk berjuang memperbaiki kita
yang benar-benar sudah hancur. Tidak ada
yang bisa mendamaikan ingin kita. Tidak ada yang bisa menyatukan isi
kepala
kita. Kita selalu melihat hal dari sisi yang berbeda. Lebih meninggikan
ego
tanpa peduli nasib hati. Hingga menyisakan satu korban diakhir cerita
ini
nantinya. Di sini, ada aku, dan keras kepalaku. Ingin menjadikan rasa
yang tidak
hanya menjadi sebuah kata. Menjadikan cerita ini sepanjang masa dengan
bahagia
tanpa luka. Lalu, ada kamu dan juga keras kepalamu, malah ditambah
dengan kerasnya hatimu. Yang katamu hanya akan
mengikuti alur, sebuah arus yang tidak diketahui akan bermuara di mana
dan
seperti apa.
Mulanya kita bersepakat, ke mana arah kaki melangkah, tak
jarang kita melompat. Persimpangan terlewati, keputusan besar yang disepakati,
membuat ego dan hati merasa dikorbankan. Hingga kita dipertemukan oleh
persimpangan yang lain. Sepertinya sudah lelah mengikis ego dan tidak ingin
semakin mengorbankan hati. Akhirnya jalan tengah yang dipilih. Berpisah. Kepala
riuh, airmata berdesakan. Kepala mengingatkan,
bahwa, ada beberapa hal yang memang sudah berubah. Pemikiran yang tidak
pernah sama, ternyata tidak bisa saling beriringan. Kamu menggenggam dan
berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja dengan segala
perubahan
ini?
Kesepakatan ini nyaris membentuk keputusasaan. Aku kira,
kita cukup berarti untukmu. Maka kupertahankan kita setengah mati. Yang kukira
kamu pun sedang melakukan hal yang sama. Janjimu yang mengudara, kini hanya sekadar
kata. Sementara aku, yang sudah terlanjur mengukir semua angan, harus rela
meruntuhkan semuanya itu lagi. Pada kepalan tangan kita yang erat, aku mulai
memercayakan masa depanku. Masa depan yang mau tidak mau harus kutata lagi
kembali. Masing-masing kita harus membuang segala impian yang pernah terpahat,
dan lalu melangkah meninggalkan dengan berat. Harus kutanggung kecewanya sebuah
perasaan. Ego yang terpangkas demi mempertahankan kita, tidak ada artinya.
Sulit untukku benar-benar meninggalkan, karena
kamu sudah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus berakhir. Kamu yang dulu
menjadi penawar luka, malah menjadi pencipta luka. Selepas tangis
ini, kuharap, aku bisa lebih merelakan.
Jumat, 24 Februari 2017
Sudah
Inginku
hanya sebatas angan, karena kamu yang menentukan, apa yang harus diberikan.
Seandainya tangis bisa kutahan, seandainya cerita menyedihkan bisa kurelakan. Seandainya
bisa kuberi aba-aba pada hati untuk tidak terlalu mengharap balasan. Seandainya
bisa rasa ini kuhentikan. Dan rindu ini bisa kutitipkan. Aku ketakutan, atas
penyangkalan dan peraturan yang perlahan kamu buat untuk melepaskan. Luka yang
kamu toreh kemarin belum lagi terpulihkan, kembali habis-habisan hati ini kamu
retakkan. Kamu bukan sosok yang diciptakan untuk menemukan. Kamu hanya datang
untuk meremukkan, padahal di awal pertemuan, kamu berjanji untuk membahagiakan.
Kepala merengek untuk terima saja kenyataan. Hanya itu yang bisa dilakukan. Dan
karena tidak ada yang bisa mengajarkan aku untuk berhenti mengusahakan. Aku
harus bisa mengikhlaskan, jika dengan bertahan aku akan terus dihempaskan. Jika
dengan melupakan aku akan melewatkan kemungkinan dan kesempatan yang sudah
kuperjuangkan, tak apa semua kepahitan mau tidak mau akan kutelan.
Sabtu, 18 Februari 2017
Rasanya
Saat
matahari terbenam, kutitipkan sedih, resah dan segala prasangka buruk yang
mengganggu kepala sejak bangun tadi pagi. Tapi, yang tidak aku tahu. Saat matahari
terbit, kembali aku harus berhadapan dengan kesedihan yang entah bagaimana
caranya bisa ku usir dari kepalaku. Akan ada lagi resah yang mengganggu setiap
saat. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya, setiap pagi harus bangkit,
mengumpulkan tenaga, meyakinkan dirimu agar bertahan menemukan pengharapan di
setiap patahan-patahan hatimu dan di setiap bulir air matamu yang habis
tertumpah semalaman. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya untuk berhenti
mengupayakan, kamu tidak tahu bagaimana rasanya terpaksa berhenti berjuang saat
yang diperjuangkan bahkan sama sekali tidak memberi peluang. Kamu tidak tahu
seperti apa rasanya diremukkan oleh orang yang kamu kira bisa membahagiakan.
Kamu tidak tahu seperti apa rasanya mengusahakan apapun agar kita bisa bersama
nantinya. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya untuk menerima kenyataan bahwa
bukan lagi aku yang akan menemani kamu dalam susahmu. Kamu tidak tahu seperti
apa rasanya takut akan wanita yang menemanimu kelak tidak mau bersusah
denganmu. Kamu tidak tahu bagaimana cara mengikhlaskan sementara cintamu masih
mengental. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya terjaga tengah malam dan yang
diingat kepalaku itu kita. Kamu tidak tahu rasanya sulit memejam karena kepala
terus bertanya kenapa harus seperti ini. Sudahlah, cukup aku saja yang
mengalami hal ini. Kamu tidak usah, karena kamu pasti tidak akan sanggup. Cukup
kamu berbahagia dengan hidup dan caramu sendiri.
Senin, 13 Februari 2017
Menang
Banyak yang bilang, wanita diuji saat di mana lelakinya
tidak punya apa-apa. Sementara, lelaki diuji, saat dia punya apa-apa. Saat kamu
bisa memanjangkan sabar untuk orang yang paling kamu cintai, kamu bisa sangat bangga
melihat hasil yang telah diraih bersama-sama. Buah dari peluh yang kalian
usahakan, benar-benar tidak akan menghianati. Dan tidak sedikitpun aku meminta
imbalan atau apapun itu karena telah ikut perpeluh menemani kamu. Aku lebih
menginginkan waktumu, dari apapun semua itu. Tapi, kamu inginkan aku untuk
menemani sampai di sini. Mungkin aku yang belum pantas menemanimu hingga
seterusnya. Mungkin bukan aku yang kamu inginkan untuk bahagiamu seterusnya.
Mungkin aku hanya penghambatmu untuk menjadi lebih besar dari ini? Entahlah,
aku kelimpungan memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Bisa apa aku selain
merelakan? Bisa apa aku selain tetap mendoakan bahagia dan suksesmu? Yang aku
tahu, aku bisa menyimpulkan, bahwa aku menang. Setidaknya aku sudah lulus dari
ujian. Terima kasih, kamu. Semoga kamu berbahagia. Maafkan aku.
Langganan:
Postingan (Atom)