Minggu, 02 April 2017

Percakapan

Apa yang sedang kamu pikirkan? Jiwamu merasa tidak aman? Ragamu berdarah-darah? Hatimu biru lebam? Lantas, apa yang kamu harapkan? Ingin diselamatkan? Tidak? Ingin ditemani saja, atau? Oh, tidak juga? Ingin sendiri seperti biasanya? Baiklah. Tapi aku tidak tega melihat mata lelah itu. Aku tidak tega melihat senyum yang terlalu sering kamu paksakan. Jangan tersenyum padaku, kamu bisa menggunakan senyum bengis itu untuk membuat orang kelimpungan tapi tidak untukku. Aku tahu kamu. Aku tahu busuk hatimu, pun wajahmu tidak menunjukkan demikian. Tidak ada yang akan menerima segala sisi dari sisa yang kamu miliki selain aku. Tidak ada yang bisa kamu harapkan. Pada akhirnya, mereka akan pergi melenggang melangkah tanpa dosa, tanpa hati. Pun mereka belum tahu sebenarnya kamu, kamu tetap ditinggalkan, bagaimana jika mereka tahu kamu yang sebenar-benarnya? Sudah, rengkuh aku. Selamanya kamu hanya punya aku. Pun kamu berkali-kali menyakiti aku, bahkan ingin membunuhku, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Hanya aku yang bisa menyelamatkan aku.

Senin, 27 Februari 2017

Lagi

Ketakuan akan penyesalan di kemudian hari, tidak pernah absen mengingatkanku, bahwa melepaskan bukanlah penenang. Meninggalkan tak serta-merta membuat penyesalan menguap begitu saja setelahnya. Ketakutan memiliki kekuatan tersendiri yang selalu bisa membuatku untuk tidak memutuskan apapun sendiri. Rasanya baru kemarin aku menaburkan bahagia pada hati yang habis-habisan dipatahkan. Kini aku harus dihadapkan untuk memperbaiki pecahan hati yang kembali patah. Tidak, aku tidak akan mencari bahagia baru. Tidak sampai bahagia itu yang datang sendiri menghampiri. Seperti bahagia yang baru saja kemarin ku dapatkan, darimu. Mungkin aku yang tidak berhati-hati, hingga pada akhirnya, aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa mencintai kamu sebesar ini, tidak cukup mempertahankan kita. Dan tidak selamanya cinta bisa melawan jarak. Cinta masih akan terus mengental, tapi luka darimu pun masih akan terus mengekal. Cinta masih sama aku tidak akan menyangkal. Aku harus belajar menerima dan belajar percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Cinta masih sama, dan percayaku hampir saja utuh padamu. Salahku yang belum bisa membendung amarah, salahku yang tidak bisa berpikir sebelum berujar, salahku yang tidak bisa memanjangkan sabar, salahku yang tidak bisa berkompromi dengan jarak. Salahku, semua salahku! Aku kelimpungan, harus bagaimana? Mengapa orang yang paling mencintai, selalu menjadi orang yang paling menyedihkan? Apa benar, kamu datang bukan untuk menemukan, melainkan untuk meremukkan? Aku tidak pernah tahu isi kepalamu, adakah aku di dalamnya? Aku pikir, sayangmu bisa mengalahkan ego yang ada di kepalamu, seperti aku yang bisa membuang segala kemungkinan-kemungkinan lain untuk memintamu kembali. Harga diri, tidak berarti lagi saat ini. Yang penting, bagaimana caranya kita bisa memperbaiki ini semuanya, bagaimana kita bisa meneruskan kembali yang sempat terhenti. Bagaimana kita kembali berjuang seperti dulu, saat kita tidak memiliki apapun untuk dijadikan pegangan. Sudah sampai di sini, terlalu disayangkan, terlalu cepat untuk disudahi, terlalu cepat untuk aku bisa mencerna perpisahan ini. Aku belum siap jika harus benar-benar kehilangan lagi. Andai aku bisa sepertimu, yang bisa sangat mudahnya melepas, merelakan.

Sabtu, 25 Februari 2017

Sepakat


Semesta punya rahasianya sendiri dalam mempertemukan kita. Untuk menjadi satu, kekerasan hati harus dilebur agar bisa membaur. Kita terbentur oleh ego dan kemauan yang masih belum bisa melewati batas suatu jalur. Kita semakin berjalan mundur. Jarak membuat rasamu mengendur, dan cintamu sudah terlihat mengabur. Bahagia yang dulu diumbar kini telah luntur. Aku tidak akan mengorbankan hati untuk berjuang memperbaiki kita yang benar-benar sudah hancur. Tidak ada yang bisa mendamaikan ingin kita. Tidak ada yang bisa menyatukan isi kepala kita. Kita selalu melihat hal dari sisi yang berbeda. Lebih meninggikan ego tanpa peduli nasib hati. Hingga menyisakan satu korban diakhir cerita ini nantinya. Di sini, ada aku, dan keras kepalaku. Ingin menjadikan rasa yang tidak hanya menjadi sebuah kata. Menjadikan cerita ini sepanjang masa dengan bahagia tanpa luka. Lalu, ada kamu dan juga keras kepalamu, malah ditambah dengan kerasnya hatimu. Yang katamu hanya akan mengikuti alur, sebuah arus yang tidak diketahui akan bermuara di mana dan seperti apa.
Mulanya kita bersepakat, ke mana arah kaki melangkah, tak jarang kita melompat. Persimpangan terlewati, keputusan besar yang disepakati, membuat ego dan hati merasa dikorbankan. Hingga kita dipertemukan oleh persimpangan yang lain. Sepertinya sudah lelah mengikis ego dan tidak ingin semakin mengorbankan hati. Akhirnya jalan tengah yang dipilih. Berpisah.  Kepala riuh, airmata berdesakan. Kepala mengingatkan, bahwa, ada beberapa hal yang memang sudah berubah. Pemikiran yang tidak pernah sama, ternyata tidak bisa saling beriringan. Kamu menggenggam dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja dengan segala perubahan ini?
Kesepakatan ini nyaris membentuk keputusasaan. Aku kira, kita cukup berarti untukmu. Maka kupertahankan kita setengah mati. Yang kukira kamu pun sedang melakukan hal yang sama. Janjimu yang mengudara, kini hanya sekadar kata. Sementara aku, yang sudah terlanjur mengukir semua angan, harus rela meruntuhkan semuanya itu lagi. Pada kepalan tangan kita yang erat, aku mulai memercayakan masa depanku. Masa depan yang mau tidak mau harus kutata lagi kembali. Masing-masing kita harus membuang segala impian yang pernah terpahat, dan lalu melangkah meninggalkan dengan berat. Harus kutanggung kecewanya sebuah perasaan. Ego yang terpangkas demi mempertahankan kita, tidak ada artinya.
Sulit untukku benar-benar meninggalkan, karena kamu sudah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus berakhir. Kamu yang dulu menjadi penawar luka, malah menjadi pencipta luka. Selepas tangis ini, kuharap, aku bisa lebih merelakan.

Jumat, 24 Februari 2017

Sudah




Inginku hanya sebatas angan, karena kamu yang menentukan, apa yang harus diberikan. Seandainya tangis bisa kutahan, seandainya cerita menyedihkan bisa kurelakan. Seandainya bisa kuberi aba-aba pada hati untuk tidak terlalu mengharap balasan. Seandainya bisa rasa ini kuhentikan. Dan rindu ini bisa kutitipkan. Aku ketakutan, atas penyangkalan dan peraturan yang perlahan kamu buat untuk melepaskan. Luka yang kamu toreh kemarin belum lagi terpulihkan, kembali habis-habisan hati ini kamu retakkan. Kamu bukan sosok yang diciptakan untuk menemukan. Kamu hanya datang untuk meremukkan, padahal di awal pertemuan, kamu berjanji untuk membahagiakan. Kepala merengek untuk terima saja kenyataan. Hanya itu yang bisa dilakukan. Dan karena tidak ada yang bisa mengajarkan aku untuk berhenti mengusahakan. Aku harus bisa mengikhlaskan, jika dengan bertahan aku akan terus dihempaskan. Jika dengan melupakan aku akan melewatkan kemungkinan dan kesempatan yang sudah kuperjuangkan, tak apa semua kepahitan mau tidak mau akan kutelan.

Sabtu, 18 Februari 2017

Rasanya



Saat matahari terbenam, kutitipkan sedih, resah dan segala prasangka buruk yang mengganggu kepala sejak bangun tadi pagi. Tapi, yang tidak aku tahu. Saat matahari terbit, kembali aku harus berhadapan dengan kesedihan yang entah bagaimana caranya bisa ku usir dari kepalaku. Akan ada lagi resah yang mengganggu setiap saat. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya, setiap pagi harus bangkit, mengumpulkan tenaga, meyakinkan dirimu agar bertahan menemukan pengharapan di setiap patahan-patahan hatimu dan di setiap bulir air matamu yang habis tertumpah semalaman. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya untuk berhenti mengupayakan, kamu tidak tahu bagaimana rasanya terpaksa berhenti berjuang saat yang diperjuangkan bahkan sama sekali tidak memberi peluang. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya diremukkan oleh orang yang kamu kira bisa membahagiakan. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya mengusahakan apapun agar kita bisa bersama nantinya. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya untuk menerima kenyataan bahwa bukan lagi aku yang akan menemani kamu dalam susahmu. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya takut akan wanita yang menemanimu kelak tidak mau bersusah denganmu. Kamu tidak tahu bagaimana cara mengikhlaskan sementara cintamu masih mengental. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya terjaga tengah malam dan yang diingat kepalaku itu kita. Kamu tidak tahu rasanya sulit memejam karena kepala terus bertanya kenapa harus seperti ini. Sudahlah, cukup aku saja yang mengalami hal ini. Kamu tidak usah, karena kamu pasti tidak akan sanggup. Cukup kamu berbahagia dengan hidup dan caramu sendiri.

Senin, 13 Februari 2017

Menang

Banyak yang bilang, wanita diuji saat di mana lelakinya tidak punya apa-apa. Sementara, lelaki diuji, saat dia punya apa-apa. Saat kamu bisa memanjangkan sabar untuk orang yang paling kamu cintai, kamu bisa sangat bangga melihat hasil yang telah diraih bersama-sama. Buah dari peluh yang kalian usahakan, benar-benar tidak akan menghianati. Dan tidak sedikitpun aku meminta imbalan atau apapun itu karena telah ikut perpeluh menemani kamu. Aku lebih menginginkan waktumu, dari apapun semua itu. Tapi, kamu inginkan aku untuk menemani sampai di sini. Mungkin aku yang belum pantas menemanimu hingga seterusnya. Mungkin bukan aku yang kamu inginkan untuk bahagiamu seterusnya. Mungkin aku hanya penghambatmu untuk menjadi lebih besar dari ini? Entahlah, aku kelimpungan memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Bisa apa aku selain merelakan? Bisa apa aku selain tetap mendoakan bahagia dan suksesmu? Yang aku tahu, aku bisa menyimpulkan, bahwa aku menang. Setidaknya aku sudah lulus dari ujian. Terima kasih, kamu. Semoga kamu berbahagia. Maafkan aku.